6/28/2014

Ini, Ramadhan Terakhir Kalian Di sini!

Sore itu, dengan agak tergesa-gesa, kupakai baju dan bergegas pergi meninggalkan kamar. Baru 5 langkah setelah ku meninggalkan teras, terdengar seorang maudzin yang mengumandangkan adzan.  “Alhamdulillah…” ucapku saat itu. Sebelumnya aku mengira bahwa tidak akan ada yang mengumandangkan adzan. Begitu kudengar suara adzan itu, maka respon hamdalah itu lah yang keluar dari mulutku. Dengan perasaan lebih tenang kulanjutkan langkahku menuju masjid. Ketika hendak memasuki masjid, aku dihadang oleh seorang guru. Nampaknya beliau telah menungguku sejak melihatku menuju masjid. 

Dari mana saja ?” tanya beliau. Kujawab, “Tadi saya baru bangun Bu, agak telat”. “Kalian ini, bukannya berlomba-lomba dalam kebaikan, malah enak-enakan tidur di asrama. Kalian ini paling tua sekarang. Paling dekat lagi ke masjid. Nggak ada satu pun kelas 3 yang datang duluan. Ini Ramadhan terakhir kalian di sini! ”.

Mendengar ucapan beliau, aku hanya menundukkan kepala sambil mendengarkan lanjutan nasihat yang beliau sampaikan. Kupikir waktu itu, “Ah, ini mah udah biasa”. Memang beliau (guru tadi) termasuk guru yang seringkali mengingatkan murid-muridnya untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan baik. Apalagi angkatan kami memang tergolong sering berinteraksi dengan beliau. Mungkin beliau merasa memiliki hubungan yang kuat dengan kami, entahlah.

Setelah peristiwa itu, aku mencoba mengingat-ingat kembali apa yang beliau sampaikan saat itu. Entah karena terlalu panjang, atau memang karena terlalu sering mendapatkan ‘pencerahan’ dari beliau, aku hanya tertarik dengan sepotong ucapan beliau. “Ini Ramadhan terkahir kalian di sini!”. Bila kupikir, memang apa istimewanya ramadhan di tempat ini? Bukankah yang dianjurkan dalam islam itu berbahagia saat menyambut Ramadhan, tanpa menyebutkan tempat tertentu sehingga bernilai lebih istimewa? Kalau memang ini ramadhan terakhir di sini, terus kenapa? Ah, mengapa juga beliau menyisipkan kalimat itu dalam uraian nasihatnya. Sebegitu perlukah kalimat itu sehingga belaiu selipkan di dalam ucapannya.

Waktu itu, aku memang tak merasakan ada hal yang istimewa dari ucapan yang beliau sampaikan. Tapi saat ramadhan itu berlalu dan kucoba mengingat ucapan itu, barulah aku merasa memang ada yang istimewa dari ramadhan terakhir yang telah kulalui 3 tahun kebelakang. Ya, 3 Ramadhan itu terasa istimewa karena ada orang-orang istimewa di sekelilingku. Bila kupikir sekarang, akan adakah orang yang akan membangunkanku sahur dengan cara mengumandangkan adzan saat pukul 3 pagi  atau dengan membunyikan petasan dalam ruangan? Akan adakah kesibukan mempersiapkan acara sehingga bisa menjadikan apa yang kita lakukan bernilai ibadah? Akan adakah keramaian orang yang berlomba-lomba  melantunkan ayat-ayat suci al-Qur’an setelah kita menyempurnakan salam sholat fardhu? Akan adakah pembacaan asmaul husna dengan macam-macam kreativitasnya (walau kadang agak berlebihan) ? Nampaknya aku tak akan menemukan hal seperti itu lagi untuk Ramadhan kali ini dan selanjutnya.

Hah, membayangkan kenangan indah memang selalu membuat kita tersenyum. Tapi apakah karena hal itu semangat kita turun? Apakah karena semua yang telah terjadi kita tak bisa melakukan hal yang lebih baik lagi? Ayolah kawan, bukankah kita dituntut melakukan amal sholih bukan karena orang, sekumpulan orang, ataupun lingkungan? Bukankah kita melakukannya karena Ia telah memerintahkan pada kita dan telah menjanjikan balasannya bagi kita kelak? Ramadhan dengan segudang keutamaannya adalah sebuah giuran bagi kita untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah kita. Rasul pernah bersabda,

“Ketika Ramadhan datang, terbukalah pintu-pintu surga,
tertutuplah neraka dan terbelenggulah Syaitan-syaitan”

(Muttafaq ‘alaih)

Jika kita melakukan hitung-hitungan balasan amal di bulan ini, maka jelas kita akan mendapati betapa jauhnya perbandingan pahala di bulan ini dengan bulan-bulan lainnya. Dalam suatu khutbah Rasul menjelang ramadhan, beliau bersabda:

“Barangsiapa mengamalkan sebuah amalan sunnah di bulan Ramadhan, maka dia mendapatkan pahala orang yang mengerjakan amalan fardhu di bulan lain.
Dan barangsiapa mengerjakan amalan fardhu di bulan ini,
maka pahalanya seperti orang yang mengerjakan amalan itu tujuh puluh kali.”

Itu baru rumus dasarnya. 1 sunnah = 1 fardhu, dan 1 fardhu = 70 fardhu. Selain rumus itu, dalam bulan ini juga Allah memberikan bonus berupa malam yang lebih baik  dari seribu bulan. Asumsikan jika kita mendapatkan malam ini. Berarti ibadah kita pada satu malam itu lebih baik dari ibadah kita selama seribu bulan, yaitu sekitar 83 tahun. Nah, kalau kita kombinasikan kedua rumus itu, maka berapa lipat pahala yang dapat kita terima. Bahkan, bila kita beribadah seumur hidup pun, belum tentu kita bisa mendapatkan pahala sebesar itu (anggap rata-rata usia orang saat ini hingga 60an tahun). Menghitung pahala memang hal yang tak perlu kita lakukan, tapi dari hitungan sederhana tadi saja, kita bisa melihat betapa Allah begitu mengistimewakan bulan ini. Subhanallah ….

Jika kalkulasi pahalanya sudah sedemikian menguntungkan dan  ditambah dengan dibelenggunya syaitan, lantas apa penyebabnya kita tetap sulit untuk mengoptimalkan bulan ini ? Mungkinkah diantara syaitan itu ada yang melepaskan diri dan berusaha mendekati kita agar kita bermalas-malasan? Nampaknya terlalu egois jika kita menyalahkan syaitan. Kita yang malas, kok syaitan yang disalahkan, padahal Nabi sendiri yang mengatakan bahwa syaitan dibelenggu di bulan penuh berkah ini, ckckck.

Bukan, kawan, bukan syaitan penyebabnya, tapi justru diri kita sendiri lah yang menyebabkan kita sulit melakukan hal positif. Ingatlah bahwa sebenar-benar musuh kita adalah hawa nafsu. Bila kita berhasil mengendalikannya, maka beruntunglah kita. Selain itu, bila kita amati nasihat guru kita di atas, kita diminta untuk memiliki motivasi dalam diri kita sendiri agar kita benar-benar dapat memanfaatkan bulan ini dengan sebaik mungkin. Salah satu caranya adalah dengan menganggap bahwa ini adalah ramadhan terkahir kita. Karena pada kenyataannya kita memang tidak tahu bahwa ini merupakan yang terakhir atau bukan. Kita tidak tahu kapan Malaikat maut mendatangi kita. Mungkin beberapa tahun mendatang, tahun selanjutnya, bulan depan, besok atau mungkin beberapa jam setelah ini. Tidak ada yang dapat menjamin kapan walau hal itu sudah merupakan kepastian. Oleh karena itu, kita dituntut untuk terus melakukan yang terbaik terutama dalam beberapa hari ke depan. Semoga dengan ini kita dapat digolongkan menjadi hambaNya yang mendapatkan kemuliaan pada bulan suci ini termasuk keistimewaan Lailatul Qadr. Aamiin.

“Ya Allah, telah membayang pada kami bulan Ramadhan. Sebentar lagi dia akan datang. Karena itu, selamatkanlah dia untuk kami dan selamatkanlah kami untuknya. Anugerahilah kami kemampuan untuk berpuasa dan beribadah di dalamnya. Karuniailah kami kesungguhan, kegigihan, dan semangat tinggi serta jauhkan kami dari berbagai cobaan”


Allahumma Innaka  ‘Afuwwun Kariim, Tuhibbul ‘Afwa Fa’fu ‘Anna Yaa Kariim

Nn -

No comments :

Post a Comment