5/31/2015

Salam dari Jogja



Graduation Day + 365 Days‏

Image and video hosting by TinyPic

Minggu, 31 Mei 2015. Begitulah tanggal yang terbaca pada smartphone yang selalu kubawa ke mana-mana. Hari ini bukanlah hari yang spesial, kecuali bila teringat bahwa Magnivic Alencearin telah lulus dari ‘penjara suci’ MAN Insan Cendekia Serpong setahun yang lalu, persis pada tanggal ini.

Masih terbayang bagaimana pemandangan Gedung Serba Guna di hari itu : dipenuhi orang tua dan tamu undangan, kami semua berpakaian formal, adanya suatu backdrop bertuliskan “wisuda” di depan panggung GSG, sungguh pemandangan yang tidak biasa. Masih teringat rasa haru ketika kami melangkah satu per satu melaksanakan prosesi wisuda, prosesi yang menandakan akhir perjalanan kami di tempat itu. Masih terkenang wajah-wajah rekan seperjuangan yang sembab, basah akibat air mata yang tak bisa ditahan, tahu bahwa hari esok tidak akan sama dengan hari-hari sebelumnya.


}-{

Meskipun baru satu tahun terlewati dari kejadian kelulusan itu, sudah banyak hal yang terjadi di sekitar kita. Meskipun cuma satu angka yang berubah, dari angka 4 menjadi angka 5 pada angka tahun 2014 dan 2015, tidak sedikit perubahan yang dialami oleh masing-masing diri kita.

Ada beberapa di antara kita yang sibuk dengan dunianya sendiri, sibuk berkegiatan yang mungkin fana esensinya. Ada beberapa di antara kita yang membangun sebuah ilusi, ilusi di mana pribadi dirinya dianggap baik-baik saja, entah mungkin karena berstandar pada dunia yang mulai kacau ini, padahal perubahan adalah sebuah kewajiban yang dia sadari merupakan kebutuhannya. Ada beberapa di antara kita yang ‘menjadi nyaman’ dengan ‘bebasnya’ dunia ini, sehingga menjadi pribadi yang sebelumnya tidak mungkin akan terbentuk di penjara suci tersebut. Lalu, cukup banyak di antara kita yang mengeluhkan betapa banyaknya kebiasaan-kebiasaan baik di penjara suci tersebut yang mulai tertinggalkan.

}-{

Meskipun banyak yang terjadi, namun masih banyak dari kita yang tetap menyadari hal-hal yang penting.

Sadar bahwa kita harus selalu meniatkan diri kita untuk belajar dan beribadah. Sadar bahwa kita harus selalu mengusahakan pribadi diri menjadi rahmatallil aalamiin. Ya, bahkan bisa dikatakan bahwa hampir kita semua sadar akan hal ini.

Namun, mungkin banyak di antara kita yang terlupa untuk sadar bahwa tanpa aksi, semua kesadaran itu menjadi tidak berarti. Aksi yang cukup kuat untuk merealisasikan kesadaran-kesadaran tadi. Aksi yang memulai membawa perubahan berarti bagi diri untuk kembali memegang teguh prinsip-prinsip islami. Aksi yang butuh dimulai dari sekarang, bukan nanti.

}-{

Aku yakin bahwa hampir semua dari kita sadar ketika kita melakukan kesalahan dalam hidup kita. Namun, di sini aku selalu berharap dan berdoa, bahwa semua dari kita akan senantiasa cukup berani untuk mengakui kepada diri kita sendiri akan kesalahan-kesalahannya. Lalu, dengan kesadaran-kesadaran tadi, mulai melakukan aksi untuk perubahan diri, hingga tercapai pribadi yang menjadi rahmatallil aalamiin...
…sehingga Insan Cendekia bangga, bangga telah meluluskan kita
-Satu Jiwa Magnivic

Pendidikan yang Mentransformasi Sosial‏

Tulisan-tulisan ini dimaksudkan untuk mengingatkan kembali maksud dan tujuan pendidikan apalagi pasca wisuda.

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI
...
Saya tahu bahwa mungkin diantara teman-teman sekalian, saya bukanlah siapa-siapa, saya tidak sepintar teman-teman, kemampuan memimpin saya juga tidak sebaik teman-teman, apalagi dalam hal seperti seni, olahraga, dan semacamnya, saya terbilang hampir tidak punya bakat sama sekali. Namun, saya jadi teringat suatu hal. Dulu saat wisuda sekolah saya, seorang teman saya, saat ini ia juga ada di ITB, mengguncang-guncang pundak saya, dan entah berapa kali dia mengatakan “prinsip, prinsip, prinsip”. Saya menangis sejadi-jadinya ketika itu. Teman saya itu sepertinya menganggap saya adalah orang yang baik, tapi sebenarnya tidak. Mungkin di luar, saya terlihat sebagai orang yang pendiam  dan tidak neko-neko. Namun, saat sedang sendirian, saya sering kali melakukan hal-hal yang mungkin bisa membuat teman-teman terlonjak ngeri atau bahkan jijik karenanya.Saya jadi sadar saat itu, bahwa setelahnya saya bukan anak-anak lagi. Saya akan tidak hanya bertanggung jawab atas perbuatan saya kepada diri saya sendiri, tapi juga orang lain.
...

Mewariskan Nilai, Merawat Harapan
...
Menurut Asep pula, mereka yang memilih untuk absen setiap kali digelar pesta demokrasi tersebut tidak otomatis telah berhenti berharap. Setidaknya, mereka berharap sikap golput mereka itu akan menjadi kritik ideologis yang bisa menghujam nurani, kalau memang masih ada, orang-orang yang mengklaim diri sebagai pemimpin tapi tak henti-hentinya mengelak dari tuduhan dan jeratan terali besi lantaran tersangkut kasus korupsi.
...

Antara Flaneur dan Ispapol: Untuk Apa Sebenarnya Kita Hidup (Bagian I)
Barangkali hanya sedikit di antara kita yang mengetahui bahwa beberapa waktu ke belakang adalah peringatan 100 tahun meninggalnya Albert Camus, seorang flaneur. Saat sedang makan siang hari ini, mata saya melirik secara sekilas pada sebuah tulisan yang dimuat dalam Tribun Forum yang ditulis oleh Irfan Teguh Pribadi. “Flaneur, Blog, dan Nasib Kata” adalah judul tulisan tersebut. Apa yang dibahas tulisan tersebut adalah menurunnya budaya untuk menelurkan gagasan secara utuh yang berbanding terbalik dengan tren sekadar berkomentar terkait dengan semakin ditinggalkannya blog dan linimasa media sosial yang memungkinkan penulisan suatu gagasan secara lengkap serta mendalam dan beralihnya masyarakat kepada linimasa jejaring sosial seperti tweeter dan line sebagai tempat adu argumen yang tidak lengkap.
Apa yang menarik saya dari tulisan tersebut adalah perumpamaan blog – sebuah alat penyampai gagasan yang utuh – sebagai rumah bagi kata, sementara linimasa jejaring sosial diumpamakan sebagai jalanan bagi kata, tempat bagi orang yang suka berjalan tak tentu arah, pelancong iseng, tukang ngeluyur ke mana-mana, atau dalam bahasa Prancis “flaneur”. Lalu apa hubungan tulisan tersebut dengan judul gagasan saya ini?
Flaneur, sebagaimana disebutkan, lekat dengan diri Albert Camus, barangkali hanya salah satu sisinya. Namun flaneur adalah bagian diri yang amat mudah dilihat. Seorang flaneur terkesan ngawur, tidak pernah taat aturan, tidak memiliki tujun dalam hidup. Namun Albert Camus adalah orang yang memiliki banyak sisi. Karya-karyanya adalah legenda di dunia sastra. Sebuah lakon karya Camus,Caligula, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Asrul Sani. Sastrawan Indonesia lain, Nh. Dini, juga menerjemahkan novel Camus berjudul La Paste pada tahun 1904.
Apa yang kemudian terlintas dalam benak saya adalah seorang flaneur bisa menciptakan karya yang fenomenal karena dalam “perjalanan tak tentu arahnya” sebenarnya ia telah memiliki sebuah arah, paling tidak pencarian arti hidup. Pencarian arti hidupnya itu mengarah kepada pemikiran-pemikiran yang dituangkan ke dalam karya-karyanya. Lalu sebuah pertanyaan di benak saya menyeruak. Untuk apakah sebenarnya kita hidup?
Pada peringatan ulang tahun organisasi Anjuman Himayat Islam di Lahore tahun 1909, beberapa saat setelah kembali ke India dari pengembaraannya di Eropa, Dr. Mohammad Iqbal mengatakan suatu hipotesis yang amat menarik dalam ceramahnya. “Kita hendaknya mengetahui bahwa setiap sistem agama besar bermula dari anggapan tertentu tentang hakikat manusia dan alam semesta,” kata Iqbal, yang di kemudian hari ia kembangkan lebih lanjut sehingga menghasilkan suatu konsepsi negara Pakistan. Dalam hal ini, Iqbal memulai dari dasar-dasar anggapan tentang manusia.
Pemikiran Iqbal tersebut menarik. Jika kita meninjau berbagai sistem agama maupun ideologi yang pernah dan masih ada di dunia ini, kita dapat mengatakan bahwa hampir semuanya berangkat dari suatu anggapan dasar tentang manusia dan alam semesta. Budhisme, misalkan, berangkat dari anggapan dasar bahwa unsur dominan dalam alam semesta adalah penderitaan. Untuk melepaskan diri dari penderitaan, Budhisme mengajarkan bahwa manusia, yang tidak berdaya, harus meleburkan diri atau memasrahkan diri kepada kekuatan alam.
Contoh lain adalah Zoroasterianisme. Fondasi dari sistem kepercayaan ini berawal dari anggapan bahwa alam semesta adalah medan pertempuran antara kekuatan baik dengan kekuatan buruk dan sebagai bagian dari alam semesta, diri manusia juga – mau tidak mau – menjadi medan pertempuran itu. Karena itu, dalam pandangan Zoroasterianisme, diri manusia selalu dihadapkan pada pilihan untuk condong ke arah kekuatan baik atau kekuatan buruk dan dapat bertindak sesuai kecondongannya.
Sementara itu, dalam pandangan Kristen, setiap manusia terikat dengan konsep dosa asal, sesuatu yang erat kaitannya dengan turunnya Adam ke dunia dalam teologi Kristen. Untuk menanggung dosa asal tersebut, dalam pandangan Kristen, manusia biasa tidak akan sanggup sehingga manusia akan menyandarkan dosa mereka kepada Sang Kristus yang akan menanggung dosa manusia.
Demikian juga jika kita meninjau ideologi-ideologi sekuler. Fasisme dan Nazisme sama-sama mengawali revolusi dan pergerakannya dari konsepsi tentang ras unggulnya sendiri. Konsepsi tentang ras unggul itu agaknya merupakan suatu pembicaraan yang amat klasik tentang eksistensi manusia. Bukti yang nyata akan hal ini terlihat pula pada Hinduisme yang merupakan salah satu kepercayaan tertua yang melandaskan sistem kastanya kepada konsep ras Arya sebagai elitis dan Dravida sebagai kaum biasa, rendahan, bahkan buangan.
Komunisme dan liberalisme sebagai contoh lain juga memiliki anggapan dasar masing-masing tentang manusia. Menurut liberalisme, manusia adalah pemilik modalnya sendiri dan tak dapat diganggu oleh siapapun dan lembaga apapun. Sebaliknya, menurut komunisme, manusia adalah bagian dari komune tempat dia berasal, masyarakatnya, karena itu kepemilikan komune lebih diutamakan daripada kepemilikan pribadi, bahkan hak milik pribadi dihilangkan.
Barangkali dari sekian pandangan tentang kemanusiaan yang penulis sampaikan berkaitan paham-paham di atas dalam banyak hal memerlukan koreksi karena keterbatasan penulis yang hanya dapat melihat dari sisi luar paham-paham tersebut. Namun dari sekilas pandang saja, pemikiran Iqbal tersebut dapat terlihat sebagai suatu kenyataan dalam kehidupan dan sejarah manusia. Berkaca dari pandangan tersebut, konsepsi mengenai manusia merupakan suatu hal yang amat fundamental dalam mengupayakan segenap perbaikan dalam hidup, baik sebagai individu, bangsa, maupun umat. Jika seseorang dapat menyadari arti keberadaannya sebagai manusia, maka ia akan memiliki kesadaran untuk bergerak dan mengupayakan segenap perbaikan untuk dirinya sendiri. Lebih tinggi lagi, jika setiap orang menyadari arti sebuah bangsa, arti sebuah kesatuan umat, yang merupakan kesatuan dari masing-masing diri manusia itu, maka masyarakat yang adil dan makmur akan dapat dicapai sebagai akibat sekaligus tujuan dari gerak masing-masing diri yang dilakukan secara bersama.
Sebuah bangsa, suatu umat, bagaimanapun juga adalah komposisi dari setiap individu. Karena itu, nasib suatu bangsa amat banyak dipengaruhi oleh kesadaran individu-individunya akan identitas mereka sendiri. Jika dalam buku Mengapa Negara Gagal yang ditulisnya, Daron Acemoglu mengemukakan bahwa ketidakmampuan pemerintahan untuk menciptakan suatu sistem yang efektif dalam birokrasi pemerintahan, hukum, dan ekonomi sebagai faktor utama gagalnya suatu pemerintahan, maka saya memandang bahwa unsur kesadaran manusia adalah faktor yang lebih berpengaruh. Sebuah sistem dan program-program pemerintahan tidak akan tepat sasaran jika hanya bersifat atas ke bawah atau bawah ke atas. Bisa jadi sistem dan program tersebut merupakan inisiasi dari kalangan atas dan merupakan suatu hal yang baik, tapi tanpa dukungan seluruh lapisan yang ada, tidak akan membawa perbaikan signifikan. Sebaliknya jika sistem dan program tersebut merupakan aspirasi lapisan bawah, meskipun merupakan suatu hal yang baik, tidak akan menuai hasil jika berbenturan dengan birokrasi dan perizinan dari pihak atas. Hal ini mengindikasikan bahwa kesadaran semua pihak merupakan faktor yang lebih kuat daripada sistem maupun program.
Sebuah buku berjudul Aku Beriman Maka Aku Bertanya yang ditulis oleh Profesor Jeffrey Lang memberikan gambaran tentang kegelisahan yang amat dalam ketika seorang anak manusia belum menemukan jati dirinya sendiri. “Waktu aku jalan, aku tidak tahu apa nasib waktu.” Begitu Chairil Anwar dalam salah satu puisinya.
Seorang manusia yang hidup hanya mengikuti ke mana keadaan membawanya akan sulit untuk menghasilkan suatu yang mengubah keadaan. Banyak orang seperti itu hanya menjadi wayang yang dikemudikan sejarah. Mereka tidak membuat perubahan apapun. Sebaliknya, orang-orang yang membuat perubahan selalu memiliki tujuan hidup mereka, sesuatu yang mereka yakini dengan kuat. Mereka mengupayakan apa yang mereka yakini itu sekuat tenaga, dengan keringat, air mata, dan darah. Sejarah mencatat nama mereka hingga sekarang. Begitu juga dengan apa yang mereka yakini sebagai tujuan mereka, tidak hanya mengubah hidup mereka sendiri, tapi juga mengubah hidup sekelompok orang, satu desa, satu kota, bahkan satu negara, bahkan dalam lingkup dunia.
Simon Sinek, seorang pembicara TED, mengajukan sebuah konsep tentang golden circle. Sebuah lingkaran berlapis tiga dengan lapisan terdalam berisi kata mengapa, lapisan kedua berisi bagaimana, dan lapisan ketiga apa.
M Miftahul Firdaus
Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB 2014

POST GRADUATION SYNDROME

Nampak nya tak semua institusi punya sindrom jenis ini. Tapi IC punya. Efeknya beragam, entah itu baper, menjadi semangat, atau menyambung kembali tali yang terbengkalai.  
IC memang mempunyai acara wisuda yang sangat sakral bagi saya. Semacam ada perasaan khusus ketika melihat kakak kelas  atau adik kelas di wisuda. Wisuda menjadi salah satu simbol seseorang telah lulus melewati segala romansa IC, dari aturan ketat, jadwal ketat, hingga nilai ketat. Disamping itu, persaudaraan pun juga ketat. Wisuda menjadi hari terakhir untuk bersama.
Saya sangat bersyukur bisa berada di momen itu. Sangat senang. Kebetulan sekali, Saya juga tidak bisa mempersiapkan diri untuk keperluan wisuda dan pulang kampung. Bahkan, waktu itu tanggal wisuda bertepatan dengan tes komprehensif pelatnas terakhir. Saya berterimakasih sekali untuk semuanya yang membantu persiapan wisuda dari pengukuran tinggi badan dan baju, mengangkat telpon saya, hingga mengirim baju jadinya ke Bandung. Disamping itu, tes komprehensif juga suatu bagian sakral dari pelatnas, apalagi pelatnas terakhir. Bapak dan kakak pembina menganggap alasan wisuda itu konyol. Menurut mereka, wisuda itu cuma formalitas. Saya coba jelaskan betapa pentingnya wisuda bagi saya. Saya termasuk anak yang jarang ada di asrama atau sekolah. Sedih sekali rasanya jika saya kembali ke IC, dan mendapati semua saudara saya sudah pulang. Saya hanya minta satu hari percepatan tes untuk berada di hari terakhir masa Aliyah. Alhamdulillah, akhirnya mereka akhirnya menyetujui setelah saya selesai urus surat dan dokumen.
30 Mei 2014, saya mengerjakan tes komprehensif. Seperti yang sudah saya ceritakan, performa saya tidak seprima sebelumnya. Yang penting, Basmalah. Tak lama setelah tes, mobil sekolah sudah datang untuk menjemput. Cepat cepat berkemas dan perpisahan dengan teman pelatnas. Dan pulang. Entah tengah malam atau sudah dini hari, saya sampai di IC. Kampus sudah sepi. Saya kembali ke asrama. Taraaaa.. teman teman akhwat menyambut saya dari balik pintu. Terima kasih yaa.. Saya lega akhirnya pulang juga.
31 Mei 2014, saya di hari wisuda. Saya dijelaskan sedemikian rupa wisuda dari berbaris, berdiri, berjalan, hingga membawa selongsong. Dan wisuda pun berjalan. Saya sangat bersyukur bisa berada di momen itu. Sangat senang. Sebenarnya saya kurang all out sih, pikirannya masih melayang hihi. Yang penting, live the moment :D Foto sanasini, maaf sanasini, dan sebagainya. Tak lupa terima kasih juga guru dan orang tua yang mendampingi hingga saya bisa dapat lulus di wisuda (dan tes komprehensif itu).  Saking asyiknya dengan yang lain, ibu saya cemburu karena lebih banyak foto sama teman daripada dengan keluarga. Ya begitulah bu, saya harus menunggu waktu yang lama untuk bertemu lagi atau malah tak bertemu dengan mereka setelah wisuda.
Setelah itu, saya mulai mengepak barangbarang untuk pulang kampung. Asrama sudah sepi. Saya menyaksikan teman yang pulang satu per satu. Saya yang terakhir pulang di kalangan akhwat, mungkin juga di ikhwan(?).
Selepas wisuda, saya bersyukur bisa jika bertemu kembali dengan beberapa teman. Senang sekali. Terima kasih sudah mengakomodasi saya. Yang saya dapat dari pertemuan kembali dengan anak IC adalah recharge. Bekal saya selepas kelulusan seringkali kurang. Saya butuh sekali pengisian kembali dari saudara saudari.
Selepas wisuda, saya sempat menulis puisi terakhir sebelum saya sekarang sudah malas menulis lagi.
Ya begitulah, kita dulu pernah ditempa bersama. Semoga menjadi rakawira dan rakanita yang akhlaknya safir dan gigih mengemban garuda. Sempurna sudah. Paling akhir, nanti masuk surga bersama. Amiin.

PURNA WIDYA

Dua ribu empat belas di akhir bulan lima
Tergelar walimah di pancaniti candradimuka
Sekelebat halimun ikhtisar silam

Bungsu yang dibuka dengan iftitah dan ibtida
Hari Nuzulul Qur’an berpekik merdeka
Merakit wasilah wiracrita yang gaharu

Panengah yang dijunjung dengan wibawa dan waskita
Gemulung dalam jenggala berwarna wilis
Menjadi gendewa gendarmeri yang pualam

Sulung yang dipanut dengan gerigi dan gerinda
Wirid padaNya dalam sukma kalis
Melarung ibrah ilmu yang mahaguru

Bulan kami kan terukir,
Rakawira dan rakanita berakhlaq safir
Bakti kami pada pancacita,
Gigih gagah mengemban jathayu gempita
Kami lah karuhun ulung,
Teguh tegar menggenggam din Islam adiluhung

Istikmal sudah zamrud purna widya
Ijazah kami adalah kawan, saudara, ada pula pasangan
Ihtifal kami nanti di mahligai haribaan-Nya

#Special Tribute for MGNV
UYUN Charisa Aziza

Seperti Seorang Bayi


Sebuah kejadian tidaklah abadi, namun lain halnya kenangan
Jiwanya akan tetap ada meski detailnya telah terlupakan
Nafasnya akan tetap terasa meski orang-orang di dalamnya tak tersisakan
Kesannya akan tetap tertinggal meski ingatan telah terkaburkan
Kenangan akan tetap bertahan meski waktu menghempas kejadian

Hari ini genap satu tahun.
Aku masih ingat betapa menariknya hari itu dengan bermacam emosinya. Dinanti karena dekat dengan masa depan, tapi ditakuti karena lekat dengan perpisahan. Disukai karena banyak bertabur senyuman, tapi dibenci karena diwarnai tangisan. Terasa hangat oleh perhatian, tapi dingin karena kepergian.
Setiap seseorang sampai pada suatu hari peringatan, seringnya ia berkata, “Terasa cepat ya! rasanya baru kemarin kita…”
Ya, rasanya baru kemarin kita wisuda.
Hari ini kita bisa berkata seperti itu. Tapi saat menjalaninya, bukankah setahun tidak se”kemarin” itu? Pasti banyak hal yang telah kita pelajari, walau merasa tidak melakukan apa-apa. Pasti banyak yang bisa kita bagi, meski rasanya sedikit memiliki. Pasti ada orang-orang baru, cerita baru, dan masalah baru, meskipun merasa orangnya cuma itu-itu saja dan masalahnya juga berputar di topic yang sama. Perubahan itu selalu ada setiap detiknya seperti napas kita, tak pernah kita lihat, jarang kita sadari, tapi dia ada dan selalu terjadi selama kita masih hidup.

Jadi apa yang kupelajari sejak wisuda sampai hari ini?

Aku belajar tentang kampusku dan apa-apa yang ada di dalamnya. Mengenal dan bekerjasama dengan orang-orang baru yang tak pernah kukenal sebelumnya. Belajar melihat permasalahan dari akarnya dan mencari solusi dengan berbagai pertimbangan. Belajar menilai seseorang dan berkaca pada diri sendiri. Belajar mengamati dan memahami.
Aku belajar untuk bertanggungjawab pada pilihanku. Belajar tidak mengeluh meski banyak sekali tuntutan akademik. Belajar untuk bertahan dan menghargai. Belajar untuk ikhlas dan mengikhlaskan. Belajar untuk tersenyum meski tidak punya keinginan untuk itu.
Aku belajar manajemen waktu. Belajar tentang kontribusi dan posisi. Belajar tentang niat dan tujuan. Belajar mengungkapkan kerinduan dengan benar.
Tapi…
Yah, namanya juga belajar.
Tidak semua membuahkan hasil maksimal. Beberapa diantaranya hanya sedikit sekali kadar keberhasilannya, sehingga yang kudapat juga masih sedikit. Sedikit ini masih bisa kutambah lagi dengan belajar lebih banyak dalam waktu yang lebih lama. Itulah yang akan kulakukan.
Ibarat seorang bayi, pada saat usianya satu tahun dia sudah sedikit terbiasa dengan dunia. Dia sudah mengerti bahasa, namun belum dapat berbicara. Dia sudah bisa berdiri dan melangkah, namun belum paham ke arah mana kakinya akan dibawa. Dia sudah mengenal rupa, namun belum bisa menilai tingkah laku.
Kurang lebih begitulah kita saat ini. Kita tahu bahwa kita harus melakukan sesuatu untuk negeri ini. Tapi kita belum tahu apa yang benar-benar bisa kita lakukan, kita belum tahu akan kemana kaki ini kita langkahkan. Akademisi kah? Wirausahawan kah? Politikus kah? Insinyur kah? Pendidik kah? Kita masih mencari tahu.
Kita masih belajar dan kita akan terus belajar. Mungkin saat ini belum banyak yang kita miliki dari sekian banyak yang kita pelajari. Tapi seperti seorang bayi berusia satu tahun, suatu hari nanti dia akan bisa berbicara, ia akan mampu menentukan kemana ia akan berjalan, ia akan mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Yang dibutuhkannya hanya waktu untuk terus belajar.

Maka itu yang kita butuhkan, waktu.

Andriana Kumalasari
31 Mei 2015
00:00 (UT+7)