6/26/2014

Mencintai Sejantan Ali

                Ada rahasia terdalam di hati Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fatimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, dan parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan pendarahan ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis.

Muhammad bin Abdullah, sang terpercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju kabah. Disana para pemuda Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fatimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.

 Mengagumkan! Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu ketika mendengar kabar yang mengejutkan. Fatimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat hubungannya dengan nabi. Lelaki yang membela islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan Islamnya tak bisa diragukan, Abu Bakar Ash-shidiq R.A. “Allah mengujiku rupanya”, begitu batin Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi nabi? Abu Bakar jelas lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat Nabi seperti Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi.

Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara Ali bertugas menggantikan Nabi untuk menanti maut di ranjangnya. Lihatlah juga bagaimana Abu Bakar berdakwah. Lihatlah berapa tokoh bangsawan dan saudagar masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar, diantaranya Utsman, Abdurrahman bin Auf, dll. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti Ali. Lihatlah berapa banyak budak yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabab, keluarga Yassir, dll, dan siapa budak yang dibebaskan Ali? Dari finansial, Abu Bakar adalah saudagar dan pasti mampu membahagiakan Fatimah. Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. “ Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam Ali. “Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku dan aku mengutakamakan kebahagiaan Fatimah atas cintaku”.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian atau pengorbanan. Waktu berlalu, ternyata Allah kembali menumbuhkan tunas harapan di hati Ali yang sempat layu. Ali pun terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakar mundur, datanglah melamar Fatimah laki-laki lain yang gagah perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk islam membuat kaum muslim berani tegak mengangkat muka, Umar bin Khatab. Ya, al-Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebatilan yang melamar Fatimah.

Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Lebih dari itu, Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, “ Aku datang bersama Abu Bakar dan Umar, aku keluar bersama Abu Bakar dan Umar, dan aku masuk bersama Abu Bakar dan Umar”. Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, ayah Fatimah. Lalu coba bandingkan dengan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana Umar melakukannya. Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau. Maka ia hanya berani berjalan di malam kelam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi. Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf 7 kali lalu naik ke atas Kabah. “Hari ini putra Al-Khaththab akan berhijrah, silakan hadang Umar di balik bukit ini!”, tantang Umar.

Ali sekali lagi sadar. Dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulullah. Mencintai berarti pengorbanan untuk kebahagiaan orang yang kita cintai. Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan, mengorbankan hasrat untuk memiliki. Maka terkagetlah Ali mendengar kabar terbaru, lamaran Umar ditolak. Menantu macam apa yang diinginkan Nabi?, Utsman sang miliader, Abul Ash bin Rabi saudagar Quraisy?. Di antara muhajirin juga ada Abdurrahman bin Auf yang terkenal kaya dan pandai berbisnis. Dari kalangan petinggi anshar ada Saad bin Muadz yang ganteng poool dan Saad bin Ubadah yang pandai dan cekatan.

Mengapa tak engkau coba untuk melamar Fathimah?, Aku punya firasat engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi”, ujar beberapa sahabatnya. “Aku merasa tidak pantas, Apa yang bisa kuandalkan?”, Ali ragu. Ia hanya tau dirinya orang yang tidak mapan pada saat itu. Bahkan, ia berencana mengulur lagi waktu “penembakan” itu, berharap kesiapan yang lebih matang dari sekarang. Tapi nuraninya berkata, “Engkau pemberani Ali, usiamu sudah berkepala 2, pemuda yang siap bertanggung jawab atas cintanya”. Ia siap memikul semua resiko keputusannya, pemuda yang yakin Allah Mahakaya. Lamarannya terjawab manis, “ahlan wa sahlan”, begitu jawab Rasulullah. Ali pun terbingung, hanya itu jawaban Rasulullah, jawaban yang mengindikasikan penundaan atau penolakan, begitu menurutnya. Ia telah lebih dari siap untuk ditolak oleh Rasulullah sebab kekurangannya dalam banyak hal.

Para sahabatnya pun bertanya, “Bagaimana jawaban Nabi wahai Ali?”. “ Ia hanya menjawab ahlan wa sahlan”, jawabnya lesu. Itulah yang justru menandakan perizinan yang sangat mantap. Sudah dijawab ahlan, dijawab pula dengan sahlan, setidaknya itu yang dikatakan para sahabatnya. Betapa bahagianya Ali, impiannya selama ini menjadi nyata. Ia menggadaikan bahu besinya. Teman-temannya pun memberi bantuan rumah untuk tempat tinggal. Ia berani melakukan pengorbanan dan mengambil kesempatan sesuai kondisi yang ada. Ali adalah gentleman sejati. Maka dari itu banyak semboyan,  Tidak ada pemuda melainkan Ali”. Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan disini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mempersilakan atau mengambil kesempatan. Antara pengorbanan dan keberanian. Bagi pecinta sejati, selalu ada yang manis dalam mengecap keduanya.

Untuk Magnivic Alencearin, yang akan kuliah dan akan merasakan butiran cinta dan panah asmara....... Menanti seorang nun jauh disana.

- Anonim -

No comments :

Post a Comment