INSAN CENDEKIA
Sebuah Nama, Sebuah
Cerita
Tak terasa
waktu sudah mengantarkanku pada penghujung masa pengabdian. Suatu hari yang tak
pernah terbayangkan dengan jelas dalam benakku. Suatu hari dimana segala rasa
akan terlebur menjadi satu. Layaknya ketujuh warna pelangi yang terspektrumisasi
menjadi cahaya putih nan terang. Air mata bahagia dan tangis sedih mengingatkan
pada setiap jengkal memori yang pernah terjadi. Akankah masa itu akan datang
kembali, walaupun roda masa takkan pernah bergulir kembali.
Engkau adalah
sebuah kisah, yang dituliskan dengan tinta emas oleh para penulis yang handal
merangkai kata. Engkau adalah sebuah lukisan yang dipadukan beragam warna
sehingga tercipta suatu karya besar nan eksotis. Tak lekang oleh zaman, walau matahari
dan bulan silih berganti menemanimu.
Merajut kain asa
karya imajinasi, menanam pohon cita-cita di atas tanahmu nan wangi. Menempa jiwa
dan ragaku di dalam kawah candradimuka layaknya seorang ksatria. Di antara
langit dan bumimu aku mengolah hidup. Di antara hitam dan putih warnamu aku
mengolah kepastian. Di antara suka dan duka aku mengolah keteguhan. Dan
diantara hidup dan mati aku mengolah kegagahan.
Akankah semua
akan tetap adanya? Sementara lembaran demi lembaran terus bertambah.
Lembaran-lembaran yang usang pun digantikan dengan lembaran-lembaran yang kesat
dan harum. Sementara kisah ini harus terus berlanjut sampai akhir masa. Kisah
ini tak boleh berakhir. Sebab jika itu terjadi, sebuah karya besar dalam
sejarah peradaban bangsa ini akan musnah. Hanya tinggal kisah yang diturunkan
oleh setiap pembacanya hingga batas tertentu dari anak-cucu keturunan mereka.
Jangan kau buang lembaran-lembaran lama itu! Agar kisah yang diturunkan kepada
generasi nanti menjadi sempurna. Agar karya besar bangsa ini bisa tetap terus
mengajarkan kebijaksanaan
bagi anak bangsanya.
Aku berhutang
besar padamu. Setiap hela nafas yang
kuhirup, setiap tanah yang kujejak, setiap tetes air yang mengalir dalam
tubuhku mungkin akan berbicara, “Betapa tak tau dirinya kau jika hutang
ini tak kau tuntaskan! Kau berhutang kepada dua ratus juta rakyat negerimu!” Sekejap tubuhku bergetar hingga
tak kuat lagi menahan air mata. Ratusan juta rakyat negeri ini menuntut
hutangnya untuk segera dilunasi. Lalu apa yang dapat kulakukan? Aku semakin
terdesak dan bertekad dalam hati. Lihatlah nanti, sepuluh, dua puluh, tiga
puluh tahun lagi aku akan kembali. Membawa bingkai bertabur berlian sebagai
penyempurna lukisan ini. Akan kubawa pula sampul berlapis emas untuk mempercantik wajah catatan karya besar
bangsa ini. Doakan aku, semoga tekadku sekeras baja dan tak tergerus oleh air
kenistaan. Saat kumulai langkah pertamaku, semua ini akan terkenang hingga ajal
menjemputku nanti pada langkah terakhir.
(LAKON HIDUP)
No comments :
Post a Comment